palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com – Kini keputusan untuk mati telah ditanggalkannya, yang tersisa dari Prayoga hanya rasa pegal. Seharian ia bakal selonjoran di sofa panjang. Ditemani botol soda, tivi yang akan dibiarkannya menyala. Lampu ruangan yang sengaja di padamkan dan jendela kamar yang meloloskan angin dari dunia luar, akan terasa sempurna untuk hari panjang itu.
“Air berkarbonasi 90 persen,” katanya dengan lirih. Ada kesan sedih pada suara yang ia keluar saat mengeja komposisi minuman yang sedang ia tenggak. “Mungkinkah campuran ini yang membantu mengeluarkan rasa sedih dari seseorang?” lanjutnya.
Namun, Prayoga hanya berhenti satu komposisi, hanya pada campuran air dengan hampir seratus persen karbon itu. Sedangkan racikan lain,seperti gula, warna karamel, asam fosfat, kafein, yang hanya mendapat takaran sepuluh persen dari minuman soda itu ia lewatkan. Begitu pula dengan konsetrat kola, campuran paling rahasia, tak ia baca.
Matanya sudah terlanjur berpaling ke televisi degan warna biru yang tajam. Ia melihat seorang gadis melambai dalam jumpa pers pada kanal 3. Lalu, ia memindahkannya ke kanal 5, sebuah pertandingan gulat sedang berlangsung. Berubah lagi ke angka 7, dan sebuah lagu-lagu tua sedang diputar. Di pojok bawah layar matanya sempat membaca tajuk acara itu, tembang kenangan, yang terus bergerak dan disambung sejumlah kalimat lain yang tak menarik bagi pikirannya. Tapi, ia berhenti pada channel 7.
Rasa sedih tampaknya tak banyak menaruh minat lelaki itu. Pandang matanya terus berpendar ke penjuru ruangan kecil yang ia sewa dengan harga murah. Meski ia tahu, ia telah di sana selama satu setengah tahun, namun ada yang ingin ia temukan.
Akhirnya, setelah hampir beberapa kali berpaling dari banyak benda, ia menemukan apa yang ia cari. Di pojok ruangan itu, di bawah aquarium kecil, kucing blonteng terlihat terlelap. Meski seharusnya ada tiga campuran warna, oranye, putih dan hitam. Namun lampu aquarium telah mengubah seekor kucing menjadi warna biru. Perutnya naik turun dan tak menunjukkan minat apapun terhadap kehidupan di bumi, bahkan terhadap lelaki yang telah memberinya ikan asin.
Ia lihat kucing itu, tiba-tiba kepala Prayoga berdesakan kenangan. Otak kecilnya memikirkan kembali dorongan untuk mengakhiri hidup, juga faktor kesedihannya sampai detik ini. Seorang wanita, dengan aroma rambut wangi melati pernah bersandar pada sofa panjang. Tempat prayoga menggantung kaki sekarang ini. Atau kenangan akan perempuan yang meninggalkan dan menikahi seseorang yang entah siapa. Tiba-tiba ia mencium aroma sampo perempuan itu, dari bantal basah di sofa.
Itu sebabnya, Prayoga selalu meyakini indra manusia seolah lorong yang saling terhubung. Dalam arti lain, mereka akan menyakiti satu sama lain. Mengirim ngengat kesedihan misalnya, berputar di kepalanya dan juga menggrogoti dadanya.
Semenit kemudian, kucing berwarna biru itu menggeliat dan mengganggu lamunannya. Seekor kucing dengan nama yang sama seperti wanita yang pernah ada di sofa itu, akhirnya bergerak. memindahkan posisi cakar dan mendesis.
“Apakah kau hamil? Kucing kampung lagi?” hardiknya kepada kucing itu. Tapi reaksi satu-satunya yang ia dapat hanya erangan kecil. Lalu disambung samar-samar televisi menyanyikan sebuah lagu dari tahun 90-an. Prayoga dan kesedihannya menambahkan suara televisi saluran 7, tapi kucing itu tetap tidur di sana dan sesekali menggeliat kembali. Mungkin hari ini, ia adalah kucing paling bahagia, bermimpi hidup bahagia dengan keempat anaknya nanti.
“Bukankah dulu ia ingin membawamu pergi, tapi ia tidak suka gaya cuekmu. Bukankah sudah kuyakinkan bahwa setiap kucing sama saja. Tapi kenapa ia ngotot ingin kucing yang peduli pada kehidupan manusia.” Saat Prayoga melontarkan kalimat itu, kucing biru itu tetap tak bergeming.
Prayoga menyerah, seperti yang ia lakukan selama ini. Matanya beralih ke jendela yang terbuka. Hujan sedang turun di luar dan terlihat air di kaca menetes bergantian. Seperti segerombol anak kecil yang menunggu giliran meluncur dari prosotan taman bermain. Terasa dingin saat angin masuk, tapi kesedihan tetap membuatnya tak peduli hari itu.
Tak berselang lama, perhatiannya kembali berubah. Kali ini ia dengar langkah tetangga kamarnya. Menaiki anak tangga. Saat ia melihat arloji dan menemukan kesedihan telah mengurungnya seharian di kamar. Prayoga hanya bergumam “ah sudah pukul 12 malam,”. Langkah tetangga itu terus menjauh dari pintu tempatnya menjadi pecundang. Akan tetapi, suara lain datang dari jendela. Seorang tua, dengan khas pakaian tukang ronda megetuk jendelanya. Mungkin dengan punggung jarinya, mungkin dengan ranting yang ia temukan di jalan, mungkin dengan dengan tongkat jaga malam.
“Ada orang di dalam?” terdengar suara seorang bapak yang menyelidik. Sebab prayoga hanya membiarkan televisi menyala tapi tidak dengan lampu kamarnya.
“iya pak, saya sedang mencoba tidur,” sambungnya dengan buru-buru bergerak menuju jendela untuk menemui lelaki itu. Sebelum Prayoga berdiri penuh, lelaki itu menahannya.