palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com– Mitos gadis sunda dilarang nikah dengan pria jawa kembali diungkit oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Mitos tersebut berawal dari sejarah Perang Bubat antara Kerajaan Padjadjaran dan kerajaan Majapahit.
Dilansir dari Detik News, Dr Erik Krisnayuda budayawan asal Kabupaten Pangandaran mengungkapkan bahwa mitos tersebut muncul akibat dari pertempuran Bubat, larangan atau pamali bagi pasangan yang berasal dari kedua suku melangsungkan pernikahan. Namun mitos tersebut telah usang.
“Dalam kehidupan saat ini mitos tersebut sudah usang, sudah tidak berlaku lagi,” kata Erik saat berbincang beberapa waktu lalu.
“Kan kita tidak bisa request, terlahir sebagai suku apa. Intinya buntut dari pertempuran perang Bubat itu sudah tidak relevan, untuk diperdebatkan. Ayolah sekarang ini sudah tahun 2021,” tandas Erik.
Ia mencontohkan Kabupaten Pangandaran merupakan wilayah perbatasan Jawa Barat (suku Sunda) dan Jawa Tengah (suku Jawa), akulturasi budaya, sosial dan adat istiadat berlangsung dengan rukun.
“Kan di wilayah perbatasan ada istilah masyarakat Jasun. Pasangan campuran Jawa dan Sunda memiliki keturunan, disebut Jasun. Pangandaran ini menjadi bukti, bahwa buntut perang Bubat itu sudah tidak berlaku lagi. Antara suku Sunda dan Jawa hidup rukun berdampingan, dalam bingkai NKRI,” tutur Erik.
Ia mengatakan tidak masalah jika sejarah Perang Bubat kembali dibongkar kembali.
“Tapi ada bagusnya, sejarah kembali dibongkar. Kita semua jadi tahu, bertambah pengetahuan, pasti ada hikmah yang bisa diambil dari kisah sejarah itu,” ujar Erik.
Adapun Perang Bubat itu sendiri terjadi lantaran obsesi Mahapatih Majapahit, Gajahmada yang melaksanakan perintah pimpinan.
“Sebagai seorang patih dia memiliki obsesi untuk melaksanakan tugas atau visi Hayam Wuruk untuk mempersatuan kerajaan di Nusantara. Dia ingin semua kerajaan di bawah kendali Majapahit,” ujar Erik.
Erik menuturkan bahwa hal ini wajar dilakukan seorang patih untuk menjalankan tugas dari pimpinan meski ada kesalahpahaman.
Perang Bubat pecah lantaran Gajahmada Gajahmada berpendapat Dyah Pitaloka adalah persembahan dari kerajaan Sunda, bentuk rasa tunduk kepada Kerajaan Majapahit. Sementara menurut Kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka akan dijadikan istri oleh Hayam Wuruk Raja Majapahit. Padahal Hayam Wuruk tidak menginginkan hal tersebut terjadi.
“Purbatisti dan purbajati itu dapat dibilang aturan baku semacam garis besar haluan negara. Nah Hayam Wuruk sendiri sebagai raja dia tahu, tak mungkin menguasai wilayah kerajaan Galuh atau tanah Sunda, karena dia sendiri merupakan keturunan Raja Galuh. Tak bisa dia menguasai tanah leluhurnya,” kata Erik.
Berbeda dengan pendapat Gajahmada, kedatangan rombongan Kerajaan Sunda ini dianggap peluang untuk menghabisi rombongan tersebut.
“Tapi sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa ini sebatas cerita sejarah. Kita jangan ‘baper’, apa yang terjadi saat itu, berbeda dengan sekarang. Berbeda jaman, beda kondisi, beda situasi. Justru kita harus pandai memetik pelajaran dari sebuah kisah sejarah,” tutur Erik. (*)
Artikel ini telah tayang di Detik News dengan judul “Masih Percaya Mitos Gadis Sunda Dilarang Menikahi Lelaki Jawa?”
Redaksi palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com