Jakarta, palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memberikan sejumlah usul yang dinilai perlu dipertimbangkan untuk menyempurnakan draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hal ini bertujuan agar isinya lebih berpihak kepada korban.
“PSI terus mengamati dinamika dalam pembahasan pasal per pasal RUU TPKS yang mungkin saja malah mengurangi tujuan utama RUU TPKS ini, yakni perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang rentan dalam sistem hukum yang ada saat ini dan penegakan hukum dengan perspektif mengutamakan kepentingan terbaik korban,” kata Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Sabtu (2/4/2022).
Pertama, terkait jenis tindak pidana kekerasan seksual. PSI mengusulkan agar RUU TPKS mengatur tindak pidana: (i) perkosaan; (ii) eksploitasi seksual; (iii) pemaksaan perkawinan, termasuk pemaksaan perkawinan terhadap korban dengan alasan menutup aib yang makin memperburuk kondisi psikis korban; (iv) pemaksaan aborsi; dan (v) kekerasan seksual berbasis gender secara online, seperti revenge porn.
“Kami mendorong agar pidana perkosaan tetap masuk, meskipun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga menyertakan hal ini. Agar jangan sampai hak-hak korban jadi terhambat tarik menarik politik dalam RKUHP yang akan terjadi. Catatan Komnas Perempuan menyebur, sepanjang 2016 ke 2019, hanya 30 persen kasus perkosaan yang bisa naik ke tahapan hukum. Secara rata-rata, per hari ada 5 kasus perkosaan, itu pun hanya yang dilaporkan. Pasti angka riil yang terjadi jauh di atas itu,” kata Grace.
Kedua, pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan. PSI mengusulkan agar biaya visum et repertum, visum et repertum psychiatricum, serta pemeriksaan dan perawatan pemulihan korban kekerasan seksual dan/atau layanan kesehatan lainnya yang diperlukan korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual menjadi tanggung jawab pemerintah dan dapat diakses melalui BPJS Kesehatan.
Ketiga, terkait sanksi pidana PSI mengusulkan, pidana denda atas pelecehan seksual berbasis elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) RUU TPKS agar diperberat menjadi maksimal Rp750 juta. Sanksi pidana denda dalam RUU TPKS minimal Rp50 juta dan maksimal Rp75 juta sedangkan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam UU ITE diancam dengan sanksi pidana denda maksimal Rp750 juta padahal pelecehan seksual dapat menimbulkan trauma lebih di atas penghinaan.
Terakhir, terkait akses hukum. Grace menerangkan, agar adil dan memastikan perlindungan terhadap korban serta membuka akses terhadap hukum seluas-luasnya, maka pengecualian terhadap kewajiban penyidik, penuntut umum, dan hakim memiliki pengetahuan, keterampilan, dan keahlian tentang penanganan korban yang berperspektif korban dan hak asasi manusia maupun telah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam Pasal 16 RUU TPKS seharusnya berlaku juga pengecualiannya bagi pendamping hukum yaitu advokat dan paralegal, yang diwajibkan dalam Pasal 20 ayat (3) huruf (f) dan ayat (4) RUU TPKS. (*)
Redaksi palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com