Pernikahan Dini di Semarang Tinggi, Tim II KKN UNDIP Gelar Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Usia Anak

Semarang, palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com – Bertepatan pada kegiatan rutin PKK di RW 18 Kelurahan Tlogosari Kulon, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang pada Rabu (10/8/2022), sekelompok mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tim II Periode 2022 Universitas Diponegoro yang melangsungkan KKN di Kelurahan Tlogosari Kulon tersebut melaksanakan sosialisasi mengenai Pencegahan Perkawinan Usia Anak kepada ibu-ibu pengurus PKK.

Kegiatan sosialisasi Pencegahan Perkawinan Usia Anak tersebut dilatarbelakangi oleh tingginya angka Perkawinan Usia Anak di Kota Semarang yang mencapai angka 411 pada tahun 2021. Jumlah tersebut dapat dikatakan cukup tinggi dalam lingkup Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu, perlu adanya pemberian edukasi kepada masyarakat, khususnya para orang tua terkait dampak dan faktor penyebab adanya Perkawinan Usia Anak.

Berdasarkan Laporan Pencegahan Perkawinan Anak pada tahun 2020, terdapat 6 (enam) faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perkawinan anak yaitu kondisi ekonomi, lingkungan sosial, pendidikan, kesehatan reproduksi, nilai sosial budaya, dan pengasuhan permisif. Hal ini belum semuanya diketahui oleh masyarakat sehingga dianggap penting untuk disosialisasikan kepada para orang tua.

Penyampaian materi dalam kegiatan sosialisasi tersebut disampaikan oleh mahasiswa KKN itu sendiri yaitu saudara Anandya Satria Mahardika, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Melalui kegiatan ini, pembawa materi menyampaikan bahwa risiko kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi akibat pernikahan dini.

“Adanya perkawinan di usia anak dapat meningkatkan risiko munculnya Kekerasan dalam Rumah Tangga, hal ini dapat disebabkan oleh kondisi mental dari pasangan yang belum matang akibat usia menikah yang terlalu muda,” jelasnya.

Kegiatan sosialisasi Pencegahan Usia Anak yang dilakukan oleh mahasiswa KKN Tim II Universitas Diponegoro ini mendapatkan sambutan yang positif dari ibu-ibu PKK yang mengikuti kegiatan tersebut. Hal ini karena banyak masyarakat di wilayah tersebut yang belum mengetahui faktor dan dampak dari adanya Perkawinan Usia Anak. Selain itu, di wilayah tersebut banyak anak-anak sehingga sosialisasi yang dilaksanakan dapat menjadi insight baru bagi orang tua di lingkungan tersebut.

“Tema kegiatan yang diangkat cukup relevan dengan keadaan di wilayah RW 18 ini, karena belum banyak ibu-ibu yang mengerti dan memahami dampak dari perkawinan usia anak,” ujar Ibu Didit, Ketua PKK RW 18 Kelurahan Tlogosari Kulon, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang (10/8/2022).

Dalam kegiatan tersebut, disampaikan pula dasar hukum yang mengatur mengenai perkawinan di Indonesia yaitu diatur di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang tersebut, diatur bahwa batas usia minimal untuk melaksanakan perkawinan adalah 19 tahun baik bagi pria maupun wanita.

Di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak juga dijelaskan bahwa yang disebut “anak” adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Oleh karena itu, penting bagi para orang tua untuk memahami bahwa mereka tidak disarankan untuk melakukan perkawinan usia anak meskipun dari segi hukum positif Indonesia (UU Perkawinan, KUHP, dan UU Perlindungan Anak) tidak menegaskan sanksi hukum terhadap pernikahan di bawah umur.

Terdapat beberapa cara yang disampaikan oleh mahasiswa KKN Tim II Universitas Diponegoro untuk mencegah perkawinan anak yaitu dengan melakukan optimalisasi kapasitas anak dengan memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan, membangun lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak, meningkatkan aksesibilitas dan perluasan layanan demi menjamin anak mendapatkan layanan dasar komprehensif untuk kesejahteraan anak, menguatkan regulasi dan kelembagaan untuk menjamin pelaksanaan dan penegakan regulasi terkait pencegahan perkawinan anak serta meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan, dan penguatan koordinasi pemangku kepentingan dengan meningkatkan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak. (*)