Hukum Salat di Tempat yang Miring atau Tidak Rata

palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com – Melaksanakan salat merupakan kewajiban setiap muslim. Namun bagaimana jika salat dilakukan di tempat yang miring atau yang tidak rata karena keadaan yang tidak memungkinkan melakukannya di tempat rata?

Dalam hadits dijelaskan bahwa muslim dilarang melakukan salat di tujuh tempat. Diantaranya tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan hewan, pekuburan, tengah jalan, kamar mandi, tempat berkerumun unta, dan di atas Ka’bah.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِي سَبْعَةِ مَوَاطِنَ: فِي الْمَجْزَرَةِ، وَالْمَزْبَلَةِ، وَالْمَقْبَرَةِ، وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ، وَالْحَمَّامِ، وَمَعَاطِنِ الْإِبِلِ، وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ

Artinya, “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw melarang untuk shalat di tujuh tempat: tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan hewan, pekuburan, tengah jalan, kamar mandi, tempat berkerumun unta, dan di atas Ka’bah.” (HR at-Tirmidzi).

Dengan mengacu pada hadits tersebut, maka salat di tempat yang tidak rata atau miring tidak termasuk di dalam tempat yang dilarang. Sehingga hukumnya diperbolehkan dan sah-sah saja jika semua syarat dan rukun shalat terpenuhi dan dilakukan dengan sempurna.

Meski ada hal yang menjadi catatan. Dimana orang yang shalat di tangga bisa sah shalatnya jika punggungnya lebih tinggi dari leher dan kepalanya. Namun jika leher dan kepalanya yang lebih tinggi dari punggungnya, maka shalatnya tidak sah karena seperti tidak sujud.

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Imam Abul Mahasin Abdul Wahid ar-Ruyani (wafat 502 H), dalam karyanya ia mengatakan:

لَوْ سَجَدَ عَلىَ مَوْضِعٍ عَالٍ، فَإِنْ كَانَ بِحَيْثُ لاَ يَكُوْنُ ظَهْرُهُ أَعْلىَ مِنْ رَأْسِهِ وَرَقَبَتِهِ لَا يَجُوْزُ لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى سُجُودًا، وَإِنْ كَانَ ظَهْرُهُ أَعْلَى مِنْ رَأْسِهِ وَرَقَبَتِهِ يَجُوْزُ. وَيُكْرَهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عُذْرٌ

Artinya: “Jika sujud di tempat yang tinggi, (maka hukumnya diperinci): jika sekira punggungnya tidak lebih tinggi dari kepala dan lehernya maka tidak diperbolehkan (shalatnya tidak sah), karena tidak disebut sujud, dan jika punggungnya lebih tinggi dari kepala dan lehernya maka diperbolehkan (shalatnya sah). Dan, makruh (shalat di tempat tersebut) jika tidak ada udzur.” (Imam ar-Ruyani, Bahrul Mazhab fi Furu’i Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2009], juz II, halaman 51).

Hal ini diperbolehkan hanya saat dalam keadaan udzur, misal jemaah yang banyak hingga berdesak-desakan dan terpaksa harus shalat di tangga. Namun saat tidak ada udzur, maka hukumnya makruh.

Imam Ibnu Abidin ad-Dimisyqi (wafat 1252 H), ulama kontemporer dari mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa jika tempat sujud lebih tinggi tempat kaki dua yang seukuran dua batu bata negara Bukhara, maka diperbolehkan.

Sedangkan jika lebih dari itu tidak diperbolehkan selama tidak karena berdesak-desakan.

وَلَوْ كَانَ مَوْضِعُ سُجُودِهِ أَرْفَعَ مِنْ مَوْضِعِ الْقَدَمَيْنِ بِمِقْدَارِ لَبِنَتَيْنِ جَازَ سُجُودُهُ، وَإِنْ أَكْثَرَ لَا إلَّا لِزَحْمَةٍ. وَالْمُرَادُ لَبِنَةُ بُخَارَى، وَهِيَ رُبْعُ ذِرَاعٍ، فَمِقْدَارُ ارْتِفَاعِهِمَا نِصْفُ ذِرَاعٍ

Artinya, “Dan jika tempat sujudnya lebih tinggi dari tempat berpijaknya kaki dua, dengan ukuran dua batu bata maka sujudnya diperbolehkan, dan jika lebih banyak (dari ukuran tersebut) maka tidak diperbolehkan, kecuali karena berdesak-desakan. Sedangkan yang dimaksud batu bata (labinah) dalam bab ini adalah batu bata negara Bukhara (Uzbekistan), yaitu seperempat dzira’ ukuran lebarnya, dan setengah dzira’ ukuran tingginya.” (Ibnu Abidin, Raddul Muhtar ‘ala ad-Durril Mukhtar, [Beirut, Darul Fikr: 1992], juz IV, halaman 62). (*)

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com  di Google News. silahkan Klik Tautan dan jangan lupa tekan tombol "Mengikuti"

Jangan lupa kunjungi media sosial kami

Video Viral

Kamarkos
Pojoke Pati