palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com – Hari ini bertepatan dengan Hari Pahlawan yang biasa diperingati setiap tanggal 10 November setiap tahunnya. Sebagai bangsa yang baik, sudah sepantasnya kita menghargai perjuangan para pahlawan yang rela berkorban untuk mempertahankan Tanah Air dan merebut dari tangan penjajah.
Pahlawan digambarkan dengan sosok yang gagah berani dan memiliki suara yang lantang, seperti Soekarno, Pangeran Diponegoro, Jendral Sudirman dan lainnya. Meski demikian, kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari perjuangan pahlawan wanita yang berani melawan penjajahan.
Berikut ini beberapa pahlawan wanita yang patut diteladani oleh bangsa Indonesia.
Dewi Sartika
Dewi Sartika lahir pada zaman Hindia Belanda, tepatnya di Cicalengka pada 4 Desember tahun 1884. Ia memiliki nama R. Rangga Somanegara dan R.A. Rajapermas. Setelah ayahnya meninggal, dia tinggal bersama pamannya dan menerima pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda.
Sosoknya dianggap sebagai tokoh pendidikan modern bagi perempuan di Jawa Barat. Selain itu, Dewi Sartika juga menjadi polopor emansipasi perempuan. Sebelumnya, ia melihat bahwa banyak anak perempuan yang tidak dihargai dan seolah mudah dibuang.
Dengan demikian, timbul keinginan untuk mengangkat derajat perempuan agar bisa menjadi sosok istri dan ibu. Perjuangannya mendirikan sebuah sekolah bernama Sakola Istri, yang kemudian diubah namanya menjadi Sakola Kautamaan Istri.
Dewi Sartika menilai bahwa penguasaan keterampilan perempuan akan membebaskan mereka dan melindungi perempuan ketika pasangan meninggalkannya. (*)
R.A. Kartini
R.A Kartini merupakan pahlawan perempuan yang berasal dari kalangan priayi atau bangsawan Jawa. Dia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara. Ibunya, M.A. Ngasirah adalah putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan K.H. Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Kartini memiliki pemikiran yang kritis, sehingga mampu memberikan sifat revolusioner. Kartini juga meninggalkan begitu banyak karya tulis. Menurut pendapatnya, kaum bangsawan perlu menyadari kewajibannya bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan harus diperluas.
Pentingnya pendidikan inilah yang ditekankan Kartini untuk memajukan kaum perempuan. Dengan pendidikan, seorang wanita dilengkapi dengan keahlian yang dapat menopang hidup dan menentukan jalan hidupnya dalam urusan perkawinan.
Nyi Ageng Serang
Pahlawan yang memiliki nama asli Raden Ajeng Kustiah Retno Adi tersebut lahir pada 1752 di Purwodadi, Jawa Tengah. Ia adalah putri dari Pangeran Notoprojo yang dikenal sebagai Panembahan Serang. Ayahnya tersebut menjadi salah satu Panglima Perang Sultan Hamengku Buwono I.
Nyi Ageng Serang memulai perjuangannya saat ayahnya gugur setelah menolak perjanjian Giyanti pada 1755. Pahlawan wanita itu memimpin pasukan untuk melawan penjajah, namun mengalami kekalahan sehingga Nyi Ageng Serang juga tertangkap dan dibawa ke Yogyakarta.
Nyi Ageng Serang menikah dengan Pangeran Kusumawijaya. Ia dan suaminya setuju untuk bergabung bersama Pangeran Diponegoro dalam peperangan melawan Belanda. Namun, ia harus mengalami kehilangan lagi karena sang suami gugur di medan tempur.
Selama hidupnya, Nyi Ageng Serang dikenal memiliki sifat yang tidak pernah putus asa, memiliki pandangan tajam ke depan, serta menjadi salah satu sosok pahlawan wanita yang terlatih untuk menghadapi segala ancaman dan pertempuran.
Rasuna Said
H.R. Rasuna Said dilahirkan pada 14 September 1910, di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Dia keturunan Muhamad Said, seorang saudagar Minangkabau dan mantan aktivis pergerakan.
Ia dibesarkan di keluarga Islam yang taat. Tidak seperti saudara-saudaranya yang sekolah di sekolah agama, dia pindah ke Padang Panjang dan bersekolah di sekolah Diniyah yang menggabungkan mata pelajaran agama dan mata pelajaran khusus.
Rasuna Said dikenal sebagai sosok yang pandai, cerdas, dan pemberani. Dia memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah, tetapi harus disertai perjuangan politik. Oleh sebab itu, ia ingin memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri, tetapi ditolak.
Awal perjuangan politik Rasuna Said dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyat (SR) sebagai Sekretaris cabang. Dia kemudian bergabung dengan Soematra Thawalib dan mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi pada 1930 dan ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI. Pahlawan wanita tersebut juga mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi.
Rasuna Said dikenal mahir berpidato, serta aktif di organisasi-organisasi. Ia sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara pada 1950. Pada 1959, dia kemudian diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, posisi yang dipegangnya sampai kematiannya di Jakarta pada 1965.
Rohana Kudus
Rohana Kudus adalah jurnalis pertama Indonesia. Ia lahir dengan nama Siti Ruhana pada 20 Desember 1884 di desa (nagari) Koto Gadang, Kabupaten Agam, pedalaman Sumatra Barat, Hindia Belanda. Ayahnya Mohammad Rasjad Maharadja Soetan merupakan kepala jaksa Karesidenan Jambi dan kemudian Medan. Rohana adalah saudara tiri Sutan Sjahrir dan sepupu Agus Salim.
Sembari aktif di bidang pendidikan, dia menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Ketika dibredel pemerintah Hindia-Belanda, dia berinisiatif mendirikan surat kabar bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia.
Diketahui, ia hidup pada zaman yang sama dengan Kartini, ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan sangat dibatasi.
Pada 1974, pemerintah daerah Sumatra Barat memberikan penghargaan kepadanya sebagai Wartawati Pertama. Rohana Kudus juga mendapatkan penghargaan sebagai Perintis Pers Indonesia pada 1987 dan Bintang Jasa Utama pada 2007. (*)
Redaksi palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com