Hingga Kini Terdapat 411 Kasus DBD yang Menyebar di Pati

Pati, palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Pati telah mencatat bahwasannya terdapat 411 data kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang menyerang masyarakat Kabupaten Pati.

Dimana data tersebut terjadi sejak awal bulan Januari hingga kini pada Oktober 2023. Kasus terbanyak jatuh pada bulan Januari berkisar 96, sedangkan paling rendah yakni Agustus hanya 13 kasus.

Selain kasus, penyakit DBD di tahun 2023 tengah memakan korban jiwa yakni pada bulan Januari terdapat 1 dan Maret ada 2 orang meninggal.

Keterangan ini disampaikan oleh Plt Sekretaris Dinkes Kabupaten Pati, dr Joko Leksono Widodo. Dirinya mengatakan, penyakit DBD di Kabupaten Pati pada bulan Oktober 2023 yakni hanya ada 18 kasus.

Baca Juga :   Kebut Vaksinasi Lansia di Jepara, 2.337 Orang Telah Disuntik

Dengan begini, perlu adanya kewaspadaan dalam pergantian musim kemarau ke penghujan. Mengingat dalam kondisi yang lembap akan mempermudah dan mempercepat melakukan perindukan.

“Terakhir pada bulan Oktober 2023 ada 18 kasus. Sedangkan sejak awal hingga kini yang sudah meninggal karena DBD itu ada 3. Sehingga kewaspadaan pergantian musim ini ketika sudah memasuki penghujan, Oktober sampai dengan April. Di November sampai Desember 2023 ini musim hujan sudah datang, kondisi sudah lembab. Kelembaban tersebut menyebabkan nyamuk Aides Aygepty untuk melakukan perindukan,” katanya.

Lebih lanjut, dari jumlah kasus dan meninggal akibat penyakit DBD tahun 2023 kini yang menyerang juga terhitung di setiap 29 Puskesmas yang ada di Kabupaten Pati.

Baca Juga :   Dinas Kesehatan Prediksi Penyakit di Musim Hujan yang Melanda Kabupaten Rembang

Kendati demikian, Dinkes Kabupaten Pati dalam melakukan pencegahan wabah DBD ini dapat dilakukan dengan berbagai cara dan penanganan.

Diantaranya seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), lantaran menjadi antisipasi yang efektif karena minim biaya, mudah diterapkan, dan bisa dilakukan kapanpun serta dimanapun. Selain itu juga masyarakat bisa melakukan fogging, akan tetapi fogging dinilai tidak efektif.

“Kami lebih mengedukasi masyarakat melakukan PSN dari pada Fogging. Karena Fogging banyak kekurangannya, pertama mahal biaya operasionalnya satu titik Rp 2.700.000, kalau dua titik bisa Rp 5.400.000. Perlu tenaga khusus yang terlatih, kami ada tiga tim. Bahan yang digunakan ada malation yang bersifat insect yang dicampur solar untuk memunculkan pengasapan bertekanan tinggi. Perlu pertimbangan untuk menggunakannya karena bersifat membunuh hewan, bisa-bisa bahaya jika ada hewan peliharaan di sekitar,” jelas dr Joko. (*)