palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com – Masyarakat Jawa lekat dengan kepercayaan yang bersifat mistis dan berkaitan dengan makhluk-makhluk halus, seperti mitos babi ngepet, genderuwo, wewe gombel dan lain-lainnya. Atas kepercayaan yang kuat itu, banyak kisah sinetron maupun film yang mengadaptasi makhluk-makhluk mistis tersebut.
Meski tidak dapat diterima secara logis, kepercayaan terhadap hal-hal mistis itu bersifat turun-temurun dan diceritakan hingga anak-cucu mereka. Dengan demikian, sebaran kisah-kisah dari mulut ke mulut menjadi dasar mengapa banyak orang Indonesia, terutama di Jawa mempercayai hal-hal mistis.
Mengapa masyarakat jawa percaya hal-hal mistis?
Dilansir dari CNN Indonesia, Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra mengatakan bahwa masyarakat masih terpaku pada pola pikir yang menilai beragam hal magis seperti sihir, santet, hingga babi ngepet adalah cara cepat menyelesaikan masalah.
“Yang jelas itu ada buktinya. Intinya pola pikir seperti itu menyelesaikan masalah. Misalnya saya pengin kaya, kemudian saya datang ke dukun dan saya jadi kaya. Itu kan bukti kalau pola pikir dukun itu benar,” kata Heddy.
“Kasus-kasus itu dianggap sebagai bukti dari kebenaran pola pikir tadi. Selain bukti-bukti itu tadi, kemudian disosialisasikan anggota-anggota beserta bukti-bukti pendukungnya, itu akan tetap dipercaya,” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pola pikir manusia terbagi menjadi 4 untuk menghadapi masalah yakni akal sehat (common sense), magi (upacara atau praktik mempersuasi makhluk gaib), sains (scientific), dan agama (religion).
Kepercayaan kepada mitos dan makhluk gaib ini menjadi bagian dari pola pikir secara magi. Dengan hal-hal magi ini dipercayai sebagai penyelesaian masalah paling cepat.
“Itu cara cepat. Karena logikanya gini, kalau kita pakai agama, kita tidak punya power untuk menyuruh Tuhan. Kalau pake scientific harus kerja keras dan lama. Tapi kalau pakai itu (santet/ilmu-ilmu magis) cepat. Saya bisa punya kuasa untuk sesuatu yang lain dan itu bisa saya manfaatkan,” ujar Heddy.
Hal yang sama juga diungkapkan olej Akademisi FIB Universitas Jember, Heru SP Saputra yang menulis bahwa hal-hal mistis merupakan cara alternatif pranata sosial tradisional ketika pranata formal tidak mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat.
“Ketika pranata formal tidak mampu menampung konflik-konflik dalam masyarakat, kompensasinya muncul pranata-pranata sosial tradisional yang mampu menyelesaikan konflik-konflik tersebut,” tulisnya.
Menurutnya, kepercayaan terhadap hal mistis dilandasi dari beberapa faktor, termasuk kepercayaan subjek (dukun) terhadap efektivitas teknik yang digunakan, kepercayaan objek terhadap kekuatan mistis, dan kepercayaan dan harapan komunitas yang berfungsi sebagai bidang gravitasi. (*)
Redaksi palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com