palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com – Wukuf merupakan rangkaian kegiatan dalam ibadah haji, dan merupakan rukun yang wajib dikerjakan. Dengan demikian, jemaah yang tidak melakukan wukuf di Padang Arafah hukum hajinya menjadi tidak sah.
Wukuf merupakan aktivitas berdiam diri di Padang Arafah dalam keadaan ihram yang dilakukan pada 9 Dzulhijjah atau hari Arafah, sejak tergelincirnya matahari sampai terbitnya fajar shadiq di hari Nahar.
Lantas, bagaimana dengan jemaah wanita yang sedang dalam masa haid? Apakah diperbolehkan melakukan wukuf di Arafah? Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan yang kami rangkum dari laman NU Online berikut!
Bolehkan wanita haid wukuf?
Dikutip dari laman NU Online, al-Imam al-Nawawi dalam kitab al Idlah menyebutkan bahwa wukuf bagi jemaah haji yang haid adalah tetap sah, namun kehilangan keutamaannya. Ini karena keadaan suci merupakan keutamaan, bukan kewajiban.
اَلسَّابِعَةُ الْأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ مُسْتَقْبِلًا لِلْقِبْلَةِ مُتَطَهِّرًا سَاتِرًا عَوْرَتَهُ فَلَوْ وَقَفَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ عَلَيْهِ نَجَاسَةٌ أَوْ مَكْشُوْفَ الْعَوْرَةِ صَحَّ وُقُوْفُهُ وَفَاتَتْهُ الْفَضِيْلَةُ.
Artinya: “Kesunahan dan adab wukuf yang ketujuh. Yang lebih utama adalah menghadap kiblat, suci dari hadas, dan menutupi aurat. Sehingga bila seseorang wukuf dalam keadaan berhadas, junub, haid, terkena najis atau terbuka auratnya, maka sah wukufnya, dan ia kehilangan keutamaan,” (Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Idlah, Beirut-Dar al-Hadits, hal. 313).
Meski demikian, apabila memungkinkan, lebih baik segera mensucikan diri sebelum waktu wukuf jika memungkinkan. Hal tersebut supaya jemaah dapat memperoleh keutamaan wukuf dalam keadaan suci.
Tetapi, jika tidak memungkinkan, misalnya dengan menunggu sampai keadaan suci dapat ketinggalan rombongan sehingga mengancam keselamatan, maka sebaiknya tetap mengikuti rombongan dengan berwukuf dalam kondisi haid.
Selain itu, saat wukuf, dianjurkan untuk memperbanyak doa maupun zikir. Berikut ini doa yang sering dilafalkan oleh Rasulullah SAW menurut Al-Mawardi dalam Al-Hawil Kabir,
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي قَلْبِي نُورًا اللَّهُمَّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَسَاوِسِ الصَّدْرِ وَمِنْ سَيِّئَاتِ الْأُمُورِ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا يَلِجُ فِي اللَّيْلِ وَشَرِّ مَا يَلِجُ فِي النَّهَارِ وَمِنْ شَرِّ مَا تَهُبُّ بِهِ الرِّيَاحُ، وَشَرِّ بَوَائِقِ الدَّهْرِ
Lâ ilâha illallâhu wahdahû lâ syarîkalah. Lahul mulku walahul hamdu wa hua alâ kulli syai’in qadîr. Allâhummaj’al fî sam’î nûrâ, wa fî basharî nûrâ, wa fî qalbî nûrâ. Allâhummasyrah lî shadrî, wa yassir lî amrî. Allâhumma innî a’ûdzu bika min wasâwisis shadri, wa min saayi’âtil umûr, wa min adzâbil qabri. Allâhumma innî a’ûdzu bika min syarri mâ yaliju fil lail, wa syarri mâ yaliju fin nahâr, wa syarri mâ tahubbu bihir rîhu, wa syarri bawâ’iqid dahri.
Artinya: “Tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia memiliki kekuasaan dan berhak atas setiap pujian. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Wahai Tuhanku, jadikanlah pendengaranku, penglihatanku, dan hatiku bercahaya. Lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah urusanku. Aku berlindung kepada-Mu dari bisikan hati, perkara yang buruk, dan dari azab kubur. Aku juga berlindung dari kejahatan yang datang di malam hari dan siang hari. Aku berlindung dari kejahatan yang dibawa angin dan kejelekan zaman.”
Redaksi palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com