palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com – Negara Arab, Tunisia sedang dilanda krisis ekonomi yang mengakibatkan sejumlah warga berakhir menjadi pemulung sampah demi memenuhi kebutuhan terutama makan.
Dilansir dari cnbcIndonesia, Kepala Kamar Nasional Pengumpul Sampah Daur Ulang, Hamza Chaouch, memperkirakan terdapat sekitar 25.000 pemulung plastik di seluruh Tunisia, 40% di antaranya berada di ibu kota, Tunis.
Di kota Tunis, pemandangan umum yang terlihat saat ini adalah perempuan yang membungkuk dengan membawa karung-karung botol plastik di pinggir jalan atau pria yang menyelip di antara lalu lintas dengan membawa muatan menjulang tinggi yang diikat si sepeda motor mereka.
Pekerjaan ini dikenal dengan barbecha. Menurut data resmi terbaru, 16% warga Tunisia hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2021, sedangkan jumlah angka pengangguran saat ini berada di sekitar 16% dengan inflasi sebesar 5,4%.
Fenomena ini mengalami kenaikan seiring jumlah pekerja informal yang melonjak dalam beberapa tahun terakhir, dan terus bertambah dengan adanya tamu para migran dari sub-Sahara Afrika lain, yang transit di Tunisia untuk menyeberang ke Eropa.
Banyak migran yang terjebak karena Tunis menindak keras penyeberangan Mediterania sejak 2023. Presiden Tunisia, Kais Saied, menyebut gerombolan migran sub-Sahara bisa mengancam komposisi demografis negara.
Pernyataan itu ternyata memicu gelombang permusuhan yang menurut banyak migran masih terasa hingga kini.
Hamza secara terang-terangan menolak orang-orang non Tunisia untuk bekerja di perusahaannya. Sedangkan Kepala Pusat Sampah Daur Ulang Bhar Lazreg, Abdallah Omri menyambut ‘semua orang’ entah dari Tunisia, sub-Sahara atau bahkan yang lainnya.
“Orang-orang yang melakukan pekerjaan ini hanya mencoba untuk bertahan hidup, kami membersihkan negara dan memberi makan keluarga,” ucap Abdallah.
Salah satu imigran, Abdelkoudouss dari Guinea mengatakan bahwa dirinya mulai memulung plastik untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menabung cukup uang agar bisa kembali ke rumah setelah dua kali gagal mencoba menyeberang ke Eropa.
Selama dua bulan terakhir, Abdel bekerja di tempat cuci mobil, tetapi rendahnya upah membuat dirinya mendaur ulang sampah sebagai sampingannya. Satu kilogram botol plastik bernilai 0,5-0,7 dinar Tunisia (Rp 4.100).
“Hidup di sini tidak mudah. Saya pindah setelah menerima banyak ancaman di tengah ketegangan antara migran dan penduduk lokal di Sfax (kota pesisir di Tunisia tengah),” ungkapnya. (*)

Redaksi palevioletred-jellyfish-458835.hostingersite.com